Kode: Biru (30 Hari Menulis #18)
Akhir pekan hampir setahun yang lalu, saya dan beberapa anggota keluarga saya berangkat dengan semangat untuk bermain tenis, kegiatan keluarga yang rutin kami lakukan setiap minggunya. Tidak pernah terbersit dalam kepala saya bahwa hari itu akan menjadi hari terburuk dalam hidup saya.
Hal pertama yang saya lihat ketika masuk ke rumah setelah kembali dari lapang tenis adalah bibi saya yang menangis histeris di ruang keluarga. "Adek... Adek, Kak, Adek..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Air matanya tak henti mengalir.
Saya, adik perempuan saya, serta ayah saya dengan segera berlari menaiki anak tangga, menuju kamarnya. Di sana, adik laki-laki saya sedang terduduk di lantai. Napasnya terengah-engah. Matanya tertutup menahan sakit. Di sekitarnya, hanya terlihat sedikit sisa darah yang sudah dibersihkan oleh asisten rumah tangga sebelum kami pulang.
Sejujurnya, saya tidak ingat banyak soal hari itu. Yang saya ingat adalah, adik saya yang tidak begitu suka membuat kontak fisik dengan kakak-kakak perempuannya itu justru meletakkan kepalanya di bahu saya. Saya usap-usap kepalanya, rambut panjangnya basah oleh keringat. "Turun yuk," ajakku, "ke RS ya?"
Susah payah kami menuntunnya turun tangga menuju ruang keluarga. Sempat ia terduduk di salah satu anak tangga, dan mengeluarkan semua isi perutnya. Ketika duduk di sofa ruang keluarga sambil menunggu ayah kami menyiapkan mobil, dia berbisik, "Bunda... Sesak... Oksigen..."
Karena kami tidak memiliki tabung oksigen di rumah, kami segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Jaraknya hanya 1,3 km dari rumah, yang dapat ditempuh selama kurang dari lima menit dengan kendaraan. Selama perjalanan, saya yang duduk di sebelah adik saya terus menerus memanggil namanya, memastikan kesadarannya. Namun tidak lama sebelum kami sampai di rumah sakit, kepalanya menunduk, kehilangan tenaga.
Saya tampar wajahnya, berkali-kali. Saya panggil namanya. Tidak ada respon.
Di ruang tunggu di luar ICU, saya duduk. Ayah, bunda, dan paman saya semua berada di samping adik saya. Sendirian, saya hanya memerhatikan lingkungan di sekitar saya. Mungkin seharusnya di situ saya tahu bahwa sesuatu yang sangat tidak beres sedang terjadi. Mungkin seharusnya saat itu saya sadar bahwa dunia saya sedang dalam proses hancur berkeping-keping.
Atau mungkin sebenarnya hati saya mengetahui apa yang sedang terjadi, tapi lebih memilih berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Seorang pengawal keamanan yang sejak awal berada di sebelah pintu ICU kemudian bertanya kepada saya, "Nggak masuk aja, Teh?"
"Adik saya udah sadar, Pak?"
Seharusnya saya mengerti dari raut wajahnya. Atau dari caranya yang tidak menjawab pertanyaan saya, dan hanya berkata, "Masuk aja, Teh."
Ragu-ragu, saya memasuki ruang ICU. Saya tidak bisa melihat adik saya dari sana, karena dia berada di balik sebuah kain yang memisahkan ruangan itu. Yang saya bisa lihat adalah ayah saya yang berdiri di ujung ranjangnya.
"Yah, Jovan udah sadar?"
Seharusnya saya tahu dari cara ayah saya menggeleng.
Entah kenapa, saya memutuskan saya tidak ingin melihat wajah adik saya dulu saat itu. Saya berbalik, kembali duduk di luar ICU. Sang pengawal keamanan tidak mempertanyakan keputusan saya, atau mengatakan apa-apa pada saya. Dia hanya membiarkan saya duduk sendirian.
Kemudian seorang suster keluar dari ICU dengan tergesa-gesa. Dari mulutnya keluar dua kata paling menyakitkan dalam hidup saya, "KODE BIRU! KODE BIRU!"
Saya berusaha untuk menjaga ketenangan yang saya pertahankan dari awal. Tidak apa-apa, itu bukan adik saya, adik saya pasti sembuh, saya pasti bisa bertemu lagi dengannya. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, kok. Tidak ada yang salah.
Tapi, tentu saja semuanya salah. Ketenangan semu yang saya pertahankan itu retak, kemudian hancur berkeping-keping. Kali selanjutnya saya bertemu dengan adik saya, napasnya sudah terhenti, nyawanya sudah tidak ada, jiwanya sudah kembali ke asal. Saya kacau.
Hal yang paling sulit yang pernah saya lakukan dalam hidup ini, adalah apa yang harus saya lakukan setelah menerima bahwa adik bungsu saya telah tiada: memberikan kabar ini kepada adik perempuan saya.
Sabtu itu kelabu, karena mendung dan hujan menyerbu. Sabtu itu merah, karena adik saya berdarah.
Sabtu itu biru.
0 orang nyasar
Bagaimana menurutmu?