Ramadhan Mubarak, Ramadhan Kareem

Saya ingat mengunci diri di kamar dan menangis bertahun-tahun lalu. Bujuk rayu orang tua tidak berhasil membuat saya membuka pintu. Semua itu karena saya sedang merasa takut dan kecewa pada diri sendiri, karena saya memutuskan untuk membatalkan puasa siang itu.

Padahal sebenarnya orang tua saya tidak marah juga, karena waktu itu saya masih kecil sekali, baru mengenal kehidupan bersekolah.

Saya waktu itu tidak sepenuhnya mengerti kenapa saya tidak boleh makan atau minum sebelum Maghrib tiba. Yang saya tahu, orang tua saya meminta saya untuk melakukan itu, maka saya lakukan.

Rasanya ketidakmengertian ini masih ada di diri saya sekarang. Saya berpuasa ya karena Ramadhan sudah tiba, dan itu hal yang diwajibkan kepada setiap Muslim.

Tapi meskipun pada hakikatnya berpuasa adalah latihan empati terhadap orang-orang yang bernasib kurang baik, saya malah berpikir tentang buka bersama dengan teman-teman yang saya rindukan.

Saya yakin yang gagal fokus bukan cuma saya, deh. Pasti ada juga yang malah asyik berdiskusi soal busana apa yang harus dikenakan pada Hari Kemenangan nanti, mukena yang mana yang hendak dipakai saat Shalat Eid, rencana liburan ke mana saja saat cuti bersama.

Wajar sih, menurut saya. Apalagi untuk orang-orang yang lahir dari keluarga Muslim, turun-temurun. Ketika kita sudah terbiasa hidup dengan sesuatu, kita tidak begitu memperhatikan kenapa kita melakukannya, atau bagaimana cara melaksanakannya dengan benar. "Sudah tradisi," seperti bunyi slogan iklan biskuit.

Ya bagus kalau sudah sadar, pikir saya, kan bisa jadi bahan renungan untuk memahami diri sendiri. Kenapa kita melakukan sesuatu, apa yang kita percayai, kenapa kita mempercayai sesuatu. Kalau ditulis saja mudah, ya.

Komitmennya itu yang berat!