[REVIEW] "Cado Cado" Catatan Dodol Calon Dokter The Movie
Kemarin, saya dan adik saya pergi ke acara premier film Cado Cado/ Catatan Dodol Calon Dokter di CGVblitz BEC. Di tengah-tengah lautan para gadis remaja yang berlomba-lomba mengumandangkan nama Adipati Dolken ketika acara meet and greet dimulai, kami berdua duduk tenang, berdoa semoga film cepat diputar.
Trailer resmi film “Catatan Dodol Calon Dokter” – sebuah film komedi drama romantis yang diadaptasi dari novel best seller dengan judul “Cado-Cado” karya Ferdi Riva Hamzah. Film ini adalah film pertama yang menceritakan tentang perjuangan seorang dokter muda dalam menemukan panggilan jiwanya sebagai dokter, sementara harus bergelut dengan masalah persahabatan dan percintaan saat masa-masa “Ko-As”.Cado Cado berkisah tentang Riva (Adipati Dolken) yang masuk ke Fakultas Kedokteran UI karena tidak ingin jauh dari teman-temannya. Ketika ia memiliki masalah dengan Evi (Tika Bravani), sahabatnya yang (pssst) dicintainya, datanglah Vena (Aurelie Moeremans) ke kehidupannya di sela-sela perjuangannya dalam meraih gelar dokter.
Meskipun aroma komedi tercium sengit dari judulnya, film ini lebih banyak menyajikan drama romantika muda-mudi. Baik drama dan penyajiannya pun tidak begitu mampu menawarkan rasa yang baru - persahabatan yang berubah wujud menjadi cinta, dibumbui cemburu di sini dan di sana.
Di luar romantika yang harus saya katakan juvenile, tidak lebih, ada juga bumbu-bumbu kedokteran dengan diperlihatkannya proses operasi pasien. Untuk Anda yang tidak begitu suka melihat darah yang menyimbah atau proses jahit-menjahit kulit manusia, saya merekomendasikan siap-siap tutup mata beberapa saat.
Selain Riva, Evi, dan Vena, ada juga beberapa karakter ko-as lain yang, meskipun peran mereka tidak begitu mampu memperdalam cerita, dapat menawarkan dekorasi humoris. Tiap orang memiliki gimmick masing-masing, tapi hanya beberapa yang benar-benar meninggalkan kesan.
Dari segi seni peran, saya sangat menyukai akting Tika Bravani dalam film ini. Bagi saya, dia mampu menghembuskan kehidupan untuk karakter Evi Sungkar, sang calon dokter yang sangat ambisius dan peduli sesama. Adipati Dolken pun saya rasa piawai dalam memerankan Riva. Hanya saja, saya memiliki masalah dengan... sebentar, saya Google dulu namanya... Aurélie Moeremans.
Ini kali pertama saya bertemu dengannya di layar lebar, dan saya kurang menyukai pertunjukannya. Selama kurang lebih dua jam, saya tidak bertemu dengan karakter bernama Vena; saya hanya menyaksikan seseorang berpura-pura menjadi Vena. Apalagi entah kenapa setiap dialog yang diucapkannya terdengar hambar, seperti istilah-istilah bahasa Inggris yang diterjemahkan secara kasar ke bahasa Indonesia. To be fair, itu bukan salah aktrisnya, melainkan kekurangan dari penulisan naskah, saya kira.
Ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab dalam film ini, dan saya menduga hal itu disebabkan oleh terbatasnya waktu. Saya tidak akan heran kalau ternyata ada banyak bahan cerita yang dipotong dan dibuang supaya durasi film ini tidak terlalu panjang. Hanya saja, hal itu berakibat pada dinginnya rasa suguhan satu ini.
Ya, meskipun dingin, saya rasa film ini boleh dipertimbangkan sebagai pemuas dahaga penonton akan hidangan lokal, yang semakin lama semakin berani menunjukkan identitas mereka. Sebagai penyuka slogan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat", saya mendukung orang-orang yang bersedia membeli tiket ketika film ini mulai disajikan tanggal 27 Oktober nanti di bioskop-bioskop tanah air.
Lagipula, selera orang berbeda-beda. Mungkin saja justru Anda akan jauh lebih menyukai film ini daripada saya. Contohnya seperti juri Tokyo International Film Festival yang memilih film ini sebagai salah satu dari beberapa film Indonesia yang akan tayang di acara tersebut.
Selamat menikmati!
0 orang nyasar
Bagaimana menurutmu?